Saatnya Daerah Berani Menerbitkan Obligasi dan Sukuk Daerah

57

 

 

Oleh: Andi Januar Jaury Dharwis

 

SELAMA puluhan tahun, arsitektur pembiayaan pembangunan di Indonesia bertumpu pada pola yang sama: APBD rutin, transfer pusat, dan sesekali pinjaman dari lembaga resmi seperti PT SMI atau perbankan. Skema ini memang aman, tetapi tidak cukup responsif menghadapi tantangan pembangunan modern yang semakin kompleks. Akibatnya, banyak daerah, termasuk di Sulawesi Selatan, terkungkung dalam keterbatasan fiskal yang menunda berbagai proyek strategis.

Padahal, ada satu instrumen yang sah, terbuka, dan sangat potensial untuk digunakan pemerintah daerah: obligasi daerah dan sukuk daerah. Instrumen ini diatur jelas dalam berbagai regulasi, mulai UU Perbendaharaan Negara, PP 12/2019, hingga ketentuan pasar modal. Namun, hingga hari ini, belum satu pun daerah di Sulawesi Selatan bahkan di Indonesia yang berani menerbitkannya.

Pertanyaannya, mengapa daerah belum berani melangkah, dan mengapa justru sekarang adalah momentum terbaik untuk memulainya?

 

Mengapa Tidak Ada Daerah yang Berani?

Ada sejumlah alasan mengapa skema obligasi dan sukuk daerah belum dimanfaatkan, meski legal dan sangat relevan untuk pembiayaan pembangunan.

Pertama, kultur fiskal daerah masih konservatif. Birokrasi lebih nyaman dengan rutinitas anggaran yang pasti, ketimbang memasuki mekanisme pasar modal yang menuntut kompetensi, transparansi, dan disiplin fiskal. Obligasi dianggap rumit, padahal di negara maju, municipal bonds adalah hal biasa bagi pemerintah lokal.

Kedua, kekhawatiran politik. Penerbitan obligasi sering dipersepsikan sebagai “menambah utang”, sebuah isu yang mudah dipelintir dalam dinamika politik lokal. Padahal, obligasi daerah bukan utang konsumtif, tetapi instrumen pembiayaan jangka panjang yang digunakan untuk membangun aset produktif.

Ketiga, proyek daerah jarang disiapkan hingga layak pasar (bankable). Investor tidak membeli retorika, mereka membeli perhitungan yang dapat dipertanggungjawabkan. Banyak daerah belum terbiasa menyiapkan feasibility study yang kuat, analisis risiko, dan proyeksi cash flow yang meyakinkan.

Keempat, kapasitas SDM dalam mengelola instrumen pasar modal masih terbatas. Menerbitkan obligasi membutuhkan underwriter, legal consultant, trustee, dan penilaian rating. Ini bukan dunia yang familiar bagi birokrasi.

Dan kelima, ada ketakutan reputasi. Jika obligasi tidak terserap pasar (undersubscribed), hal itu dapat dianggap sebagai kegagalan fiskal.

Tetapi semua alasan ini justru memperlihatkan satu hal penting, daerah yang berani melampaui hambatan ini akan menjadi pionir, dan pionir selalu dikenang.

 

Mengapa Justru Sekarang Saat yang Tepat?

Pertama, obligasi atau sukuk daerah adalah ukuran paling objektif tentang kepercayaan publik. Investor tidak membeli janji politis mereka membeli kredibilitas. Daerah yang mampu menerbitkan obligasi berarti sudah lolos ujian tata kelola, akuntabilitas, dan manajemen risiko. Penerbitan obligasi daerah bukan sekadar mencari pembiayaan, tetapi membuktikan bahwa daerah siap berada pada standar fiskal modern.

Kedua, skala kebutuhan pembangunan semakin melampaui kapasitas APBD. Di Sulawesi Selatan, mulai dari pembenahan transportasi perkotaan, revitalisasi pasar, pengembangan kawasan wisata bahari, modernisasi pelayanan RSUD, hingga infrastruktur air minum, semuanya membutuhkan pembiayaan besar dan berjangka panjang. Menunggu APBD atau transfer pusat berarti kehilangan momentum dan menambah biaya sosial akibat keterlambatan proyek.

Ketiga, sukuk daerah sangat cocok dengan karakter pembangunan Sulsel. Banyak proyek berbasis aset fisik yang dapat dijadikan underlying, seperti jembatan, terminal, pasar, pelabuhan perikanan, dan jalan. Instrumen syariah juga lebih mudah diterima masyarakat dan berpeluang besar diserap investor lokal, perbankan syariah, BPD, maupun institusi nasional.

Keempat, daerah yang menjadi penerbit obligasi pertama di Indonesia akan menuai prestige fiskal. Ini tidak hanya akan menjadi warisan kepemimpinan, tetapi juga menjadi sinyal kuat bagi investor bahwa Sulsel adalah daerah dengan tata kelola paling progresif. Pemerintah pusat pun akan memandang daerah ini sebagai contoh reformasi fiskal di level subnasional.

 

Mengapa Obligasi Lebih Unggul dari Pinjaman Biasa?

Pinjaman lembaga resmi tentu lebih mudah, namun juga lebih terbatas. Plafonnya kecil, sifatnya sangat prosedural, dan biasanya hanya cocok untuk proyek tertentu. Obligasi atau sukuk daerah menawarkan hal berbeda:

  • Dana bisa jauh lebih besar (Rp1–3 triliun tergantung kapasitas fiskal).
  • Tenor lebih panjang dan sesuai siklus aset infrastruktur.
  • Tidak terikat prioritas lembaga pemberi pinjaman.
  • Memberikan diversifikasi risiko dan sumber pembiayaan.
  • Meningkatkan disiplin fiskal dan transparansi anggaran.

Dengan obligasi, pemda tidak hanya mendapatkan uang, juga membangun reputasi.

 

Sulawesi Selatan Punya Kesempatan Emas

Sulsel adalah salah satu provinsi dengan kapasitas fiskal menengah tetapi memiliki potensi ekonomi besar. Jika berani melangkah, Sulsel bisa menjadi provinsi pertama di Indonesia yang membuktikan bahwa pembiayaan modern bukan hanya untuk negara, tetapi juga untuk daerah.

Inilah saatnya daerah bangkit dari siklus ketergantungan anggaran. Inilah saatnya daerah membuktikan kapasitas, bukan sekadar kemampuan belanja. Obligasi daerah bukan hanya instrumen fiskal ia adalah tolok ukur kepercayaan publik, dan daerah yang mampu meraihnya berarti telah mencapai level tata kelola yang diakui pasar.

Sulawesi Selatan memiliki peluang itu. Yang dibutuhkan hanyalah keberanian mengambil langkah pertama.

Penulis: Tim Pakar DPRD Provinsi Sulawesi Selatan