
BISNISSULAWESI.COM, MAKASSAR -Kemenangan Presiden Trump akhir 2024, menandai babak baru dinamika ekonomi global dengan kebijakan proteksionisme “America First”. Kebijakan ini memicu kekhawatiran dimulainya kembali Perang Dagang Global 2.0, yang berpotensi mengguncang stabilitas perdagangan internasional dan memperdalam fragmentasi ekonomi.
Sikap tegas terhadap Tiongkok dan rencana tarif impor tinggi pada lebih banyak negara berpotensi meningkatkan ketegangan ekonomi global, dengan proyeksi perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia pada 2025 menjadi 2,9 persen.
Bagi Sulawesi Selatan (Sulsel), kondisi ini berisiko menimbulkan spillover effect melalui jalur perdagangan tidak langsung, mengingat ketergantungan Sulsel pada Jepang (48,8 persen) dan Tiongkok (33,8 persen).
“Perlambatan ekonomi Tiongkok dapat menurunkan permintaan terhadap komoditas utama Sulsel seperti besi baja dan rumput laut, yang berpotensi menekan kinerja sektor Industri Pengolahan, Perikanan, dan Pertambangan sebagai penopang PDRB Sulsel,” ungkap Kepala Perwakilan Bank Indonesia Sulsel, Rizki Ernadi Wimanda saat menjadi narasumber pada “Sulsel Talk” yang digelar BI Sulsel, Rabu (14/05/2025).
Menurut Rizki, mempertimbangkan berbagai perkembangan tersebut, Kantor Perwakilan BI Sulsel menyelenggarakan “Sulsel Talk” Periode Mei 2025 dengan tema “Ekonomi Sulsel di Pusaran Perang Dagang Global 2.0: Menakar Risiko, Menjemput Peluang”. Selain Rizki, kegiatan ini menghadirkan dua narasumber lain, Kepala Kantor OJK Sulselbar, Mochammad Muchlasin dan Ekonom Senior di INDEF (Institute for Development Economics and Finance), Aviliani.
Pada kesempatan tersebut, Sekretaris Daerah Provinsi Sulawesi Selatan, Bapak Dr. H. Jufri Rahman, M. Si. , dalam sambutannya menyoroti tantangan ekonomi global akibat Perang Dagang Global 2.0 yang mempengaruhi rantai pasok dan akses pasar internasional. Meskipun demikian, pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan berhasil mencapai 5,78% pada triwulan 1 2025. Dalam menghadapi fenomena kebijakan tarif oleh Trump, ia menekankan pentingnya seluruh pihak untuk memperkuat kolaborasi sambil mencari peluang-peluang baru di tengah perang dagang ini. Upaya melakukan diversifikasi pasar ekspor, khususnya ke kawasan Asia dan Timur Tengah bisa menjadi salah satu solusi.
Rizki menyebutkan, Sulsel masih menunjukkan resiliensi dengan pertumbuhan ekonomi triwulan 1-2025 mencapai 5,78 persen (yoy), melampaui rata-rata nasional 4,87 persen. Bahkan, Sulsel masuk lima besar daerah dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi. Pertumbuhan ini terutama ditopang sektor pertanian, perikanan, serta ekspor antardaerah yang membaik.
Meskipun demikian, Rizki menggarisbawahi, kinerja ekspor luar negeri masih terbatas dan perlu penguatan. BI menawarkan solusi, salah satunya dengan melakukan penjajakan perluasan pasar ekspor ke kawasan lain seperti Timur Tengah, Afrika dan Australia.
“Khusus Australia, kerja sama bilateral dapat dilakukan melalul skema IA-CEPA (IndonesiaAustralia Comprehensive Economic Partnership Agreement),” katanya.
Senada dengan itu, Aviliani menegaskan, rivalitas dagang global dan potensi kebijakan proteksionisme AS menjadi ancaman nyata bagi ekspor negara berkembang seperti Indonesia. Dalam situasi ini, ia mendorong Sulsel tidak hanya bergantung pada ekspor bahan mentah, juga memperkuat hilirisasi dan industrialisasi berbasis komoditas unggulan lokal.
“Hal ini penting mengingat Sulsel memillki potensi ketahanan pangan dan energi yang kuat, seperti kakao, beras, minyak kelapa sawit, serta sumber energi geothermal dan angin,” katanya.
Dengan memanfaatkan letak geografis yang strategis, Sulsel berpeluang menjadi hub perdagangan non-tradisional Indonesia dengan Afrika, sekaligus hub perdagangan Indonesia menuju ASEAN dan Pasifik, melalui optimalisasi jalur ALKI II dalam pelayaran dan perdagangan internasional.
Aviliani juga menekankan pentingnya implementasi strategi inclusive closed loop guna membangun ekosistem bisnis yang berkelanjutan melalui kolaborasi multi-stakeholder, sehingga IJMKM dapat terhubung dalam rantai nilai global (global value chain).
Sementara itu, Kepala Kantor OJK Sulselbar, Mochammad Muchlasin menjelaskan, sektor jasa keuangan di Sulsel tetap stabil dan menjadi penopang utama pemulihan ekonomi daerah. Penyaluran kredit masih didominasi kredit produktif sebesar 53,92 persen, dengan sektor perdagangan besar dan eceran menyumbang share tertinggi 22,94 persen.
Kredit UMKM tumbuh positif 1,14 persen (yoy), ditopang kredit kecil (2,62 persen) dan menengah. Sementara kredit mikro yang mendominasi UMKM (54,93 persen) tumbuh 0,40 persen. OJK juga mendorong inklusi dan literasi keuangan melalui program EKI dan EPIKS untuk memperluas akses pembiayaan serta memperkuat basis pelaku usaha ekspor potensial.
“Sulsel Talk” Mei 2025, diharapkan menghasilkan rekomendasi kebijakan yang konkret, serta dapat diimplementasikan berbagai pemangku kepentingan di daerah. Kegiatan ini juga sebagai bentuk kolaborasi lintas stakeholder untuk bersama-sama memperkuat fondasi ekonomi Sulsel di tengah ketidakpastian global.
Editor : Bali Putra