Ketika Cinta Menyatukan Budaya: Peluang Atraksi Budaya dari Prosesi Pernikahan Bugis-Makassar dan Bali

195
Prosesi adat Bali yang anggun berpadu dengan nilai-nilai luhur tradisi Bugis-Makassar yang sarat penghormatan dan simbolik, menjadikan peristiwa ini bukan hanya sakral bagi keluarga, tetapi bernilai budaya tinggi bagi masyarakat. POTO : ISTIMEWA

Andi Januar Jaury Dharwis : POTO ISTIMEWA

Oleh: Andi Januar Jaury Dharwis

Tidak semua daya tarik wisata lahir dari perencanaan jangka panjang atau investasi besar. Kadang, daya tarik itu tumbuh secara alami-spontan, namun memiliki kekuatan naratif dan emosional yang luar biasa. Salah satunya tercermin dari prosesi pernikahan yang baru saja berlangsung di Makassar, ketika dua budaya besar, Bugis-Makassar dan Bali, berpadu dalam satu peristiwa sakral di tepi laut dengan kapal Phinisi sebagai latar tempat pelaksanaan akad nikah.

Pemandangan ini bukan sekadar indah di mata, juga menggetarkan dalam makna. Prosesi adat Bali yang anggun berpadu dengan nilai-nilai luhur tradisi Bugis-Makassar yang sarat penghormatan dan simbolik, menjadikan peristiwa ini bukan hanya sakral bagi keluarga, tetapi bernilai budaya tinggi bagi masyarakat.

Bayangkan akad nikah yang berlangsung di atas dermaga restoran Ombak, dengan Phinisi bersandar megah di latar, memadukan elemen laut, budaya, dan cinta. Dalam perspektif pariwisata, inilah wujud nyata ekonomi kreatif berbasis budaya lokal: spontan, otentik, dan sulit ditiru di tempat lain.

Makassar dan Sulawesi Selatan sebenarnya menyimpan begitu banyak potensi seperti ini, di mana kearifan lokal bisa menjadi sumber inspirasi penciptaan daya tarik wisata baru. Prosesi seperti ini menunjukkan bahwa atraksi budaya tidak selalu harus dibuat, melainkan bisa “ditemukan” dari nilai-nilai hidup masyarakat yang masih memelihara adat dan tradisi.

Dari sinilah pemerintah daerah, pelaku industri pariwisata, dan komunitas kreatif dapat mengambil pelajaran penting. Bahwa wisata budaya tidak hanya berasal dari festival besar atau paket tur formal, melainkan bisa berawal dari momen sosial dan adat yang dikelola dengan perspektif baru. Jika ditangkap dengan visi kebijakan yang tepat, kolaborasi budaya seperti ini dapat menjadi produk wisata unggulan yang memperkuat posisi Makassar sebagai kota pesisir yang kaya sejarah dan identitas.

Bayangkan jika ke depan, Pemda bersama komunitas kreatif dan pengelola destinasi mampu mengkonsepkan paket “Cultural Wedding Destination” di sekitar kawasan Pantai Losari, Fort Rotterdam, hingga Paotere. Bukan sekadar tempat menikah, tetapi juga ajang memperkenalkan ragam budaya Sulawesi Selatan kepada wisatawan domestik dan mancanegara.

Prosesi pernikahan Bugis-Makassar dan Bali ini seolah menjadi model spontan dari integrasi budaya Nusantara tanpa perlu dikonsep berlebihan, namun tetap menggugah publik untuk melihat sisi indah perbedaan yang menyatu dalam harmoni.

Maka, sudah saatnya Pemda, Dinas Pariwisata, serta para pelaku industri kreatif melihat momentum seperti ini sebagai “peluang yang lahir dari kebetulan”, tetapi menyimpan nilai strategis dalam menguatkan sektor pariwisata budaya Sulawesi Selatan.

Karena dari laut dan budaya, dari cinta dan tradisi, Makassar kembali menunjukkan bahwa keindahan sejatinya bukan sekadar pemandangan melainkan cerita tentang manusia, warisan, dan harmoni yang hidup di dalamnya.

Penulis: Tim Pakar DPRD Sulsel/ Praktisi Pariwisata Sulsel