
BISNISSULAWESI.COM, MAKASSAR – Sektor pertanian merupakan salah satu sektor sangat penting di Sulawesi Selatan (Sulsel), di samping sektor pengolahan dan perdagangan. Perdagangan eceran dan skala besar, perdagangan antarpulau seperti Kalimantan dan ke Kawasan Indonesia Timur. Hal ini, tentu merupakan potensi besar bagi industri perasurasian.
“Salah satu kelemahan kita, berapa sih asuransi untuk marine coal, marine cargo untuk wilayah Sulsel. Termasuk berapa besar asuransi untuk pertanian,” ungkap Kepala Kantor Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat (Sulselbar), Mch. Muchlasin pada acara Silaturahmi Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Cabang Makassar dengan OJK belum lama ini.
Silaturahmi yang berlangsung di Kantor OJK Sulselbar di Makassar, dihadiri Dewan Penasihat dan Dewan Pengurus AAUI Cabang Makassar, puluhan Pemimpin Cabang Asuransi Umum anggota AAUI Makassar, serta para Pimpinan Perusahaan Pialang Asuransi di Kota Makassar.
Muchlasin mengakui, saat menerima kunjungan dari pusat beberapa waktu lalu, pihaknya banyak mendiskusikan terkait asuransi parametrik. Ia pun mengapresiasi industri asuransi yang selama ini mendukung untuk cavendish dan kakao. “Namun, rasanya itu belum cukup. Masih harus terus lebih relevan bagi perekonomian di Sulsel,” sebutnya.
Muchlasin menambahkan, Sulsel dengan 9 juta penduduk dari 24 kabupaten kota dan luas wilayah 46 ribu kilometer persegi menjadi tantangan tersendiri untuk bisa mengampanyekan dan meningkatkan perekonomian ataupun industri perasuransian. Terutama di daerah-daerah yang masuk 3T (Terdepan, Terluar dan Tertinggal). Misalnya, jika membandingkan antara Makassar dengan Selayar atau yang lainnya, pasti disparitasnya akan cukup tinggi.
Oleh karenanya, OJK yang selama ini aktif melakukan berbagai kegiatan edukasi, mengajak pelaku industri untuk betul-betul merangkul seluruh lapisan masyarakat dari semua segmen/sektor seperti pelajar, mahasiswa, petani, nelayan, UMKM termasuk penyandang disabilitas. Tentu pelaku industri punya produk-produk yang sesuai untuk itu.
“Bukan hanya untuk asuransinya, OJK juga banyak bekerjasama dengan lembaga keuangan, baik bank maupun non-bank, termasuk keuangan mikro untuk asuransi kreditnya. Walaupun diakui, ini cukup challenging (Untuk asuransi kredit, red),” ujarnya.
OJK mendukung dan mendorong industri asuransi untuk semakin banyak membuka jejaring dengan sesama lembaga keuangan seperti Bank Pembangunan daerah (BPD), Bank Perekonomian Rakyat (BPR), kantor cabang dan regional dari bank swasta maupun himbara. Termasuk jika industri asuransi mempunyai program-program dengan kementerian/lembaga yang bisa diterapkan di Sulsel, baik apakah itu masih pilot project ataupun sudah tahap penerapan, termasuk PKS dengan pemerintah daerah atau SKPD.
OJK melalui Forum Komunikasi Industri Jasa Keuangan (FKIJK) berharap peran serta dan kontribusi dari industri asuransi, baik asuransi umum maupun pialang asuransi, untuk bisa lebih menggaerahkan sektor jasa keuangan. Diakui masih ada tantangan berat untuk mengampanyekan mengenai asuransi. “Karena itulah, bagaimana pentingnya menjaga kepercayaan,” tambah Muchlasin.
Pelaku industri perasuransian harus mampu menjelaskan kepada masyarakat bahwa fungsi utama asuransi umum adalah mencegah kerugian yang lebih besar. Bukan untuk mengatasi atau agar tidak terjadi resiko.
Menurut Muchlasin, industri asuransi utamanya asuransi umum di Indonesia, cukup berkembang, meskipun agak berat karena berkembangnya setelah sekian dekade. Tingkat pemahaman (indeks literasi) masyarakat terkait industri perasuransian di 2025 baru mencapai 45,45 persen. Sedangkan indesk inklusinya 28 persen.
Hingga Maret 2025, aset perasuransian umum mencapai Rp1.125 triliun. Jika dibandingkan pertumbuhan ekonomi yang terbilang bagus, naiknya belum signifikan karena baru sekitar 1,49 persen. Dari sisi permodalan sendiri juga cukup bagus, di mana secara keseluruhan masih 316 persen dari threshold 120 persen.
Sementara itu, Ketua AAUI Makassar, Firman Baso mengakui industri perasuransian, termasuk di Sulsel, tengah menghadapi tantangan berat dan berbagai dinamika. Komunikasi dan koordinasi yang baik antarpemangku kepentingan merupakan kunci untuk menciptakan industri perasuransian yang sehat, inklusif, dan berkelanjutan.
Oleh karenanya, pertemuan digelar dengan harapan lahir berbagai inisiatif dan langkah konkret yang dapat dijalankan bersama, termasuk kampanye edukasi publik, program literasi di berbagai segmen masyarakat, serta perluasan akses terhadap produk asuransi umum yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat lokal.
Bali Putra