BISNISSULAWESI.COM, MAKASSAR – Akhir pekan merupakan waktu yang paling tepat berkumpul bersama keluarga. Hal tersebut dimanfaatkan founder Emaronie Organizer, Eryvia Maronie, untuk berjalan-jalan bersama keluarga. Tempat yang dituju adalah Rammang-rammang. Memang bukan yang pertama, tetapi kawasan karst yang luasnya sekitar 45 ribu hektar ini termasuk dalam kawasan karst yang terbesar kedua setelah kawasan karst di Yunnan, Tiongkok Selatan. Pada tahun 2001, UNESCO memasukkan kawasan karst Maros ini sebagai kawasan cagar alam yang telah memenuhi 9 syarat, termasuk keanekaragaman hayati yang unik dan sisa peninggalan manusia purba yang ada di beberapa dinding gua.
Pada 4-5 Agustus 2015 lalu, Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo memperkenalkan Rammang-rammang dengan mengadakan Festival Full Moon. Ia mengungkapkan kekagumannya terhadap kawasan karst yang belum dikenal banyak kalangan ini, dan berharap bisa menjadikannya sebagai objek pariwisata di Sulawesi Selatan, menjadi salah satu destinasi terbaik di dunia.
Rammang-rammang berlokasi di Desa Salenrang, Kecamatan Bontoa Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Untuk menuju kawasan karst tersebut dapat ditempuh melalui jalur darat menggunakan kendaraan pribadi dari Kota Makassar. Jaraknya 40 kilometer dari Makassar atau kurang lebih 2 jam perjalanan.
“Sebenarnya sih udah lama banget saya dan Alifah pengen ke sana, sejak lihat banyak foto-foto di Instagram orang-orang yang udah ke sana. Ditambah lagi setelah nonton film The Nekad Traveller yang salah satu lokasinya syuting di Rammang-rammang, makin penasaran lah kami,” tutur Ery.
Pukul 6 pagi Ery bersama keluarga memulai perjalanan menuju Rammang-rammang. Berbekal petunjuk jalan melalui aplilasi Google Maps di gadget, mereka menyusuri jalan yang masih lengang. Menurut informasi yang didapat, kalau sudah lewat pukul 10 di Rammang-rammang panas matahari sudah terik.
Tempat yang dituju adalah Dermaga 2 Rammang-rammang. Bersama keluarga Ery berjalan melewati hamparan sawah dengan latar belakang jejeran batu-batu karang yang menjulang. Momen tersebut juga dimanfaatkan untuk berfoto bersama.
Setelah sampai, di dermaga sudah ada beberapa orang pria yang menanti pengunjung. Di dinding kayu sudah tertempel tarif perahu yang akan mengantar ke Rammang-rammang, sehingga tidak perlu lagi tawar-menawar.
Perahu yang keluarga ini gunakan berkapasitas maksimal 4 orang penumpang, yang tarifnya Rp 200.000. Masyarakat setempat menamakan perahu tradisional ini katinting. Dari Dermaga 2 Ery diantar ke Kampung Berua. “Sempat panik waktu di tengah sungai, perahu kami bersenggolan dengan perahu lain, goyang inul deh tuh perahunya. Kebayang kan kalo perahu kami terbalik.. basahlah! Ditambah lagi dalamnya sungai bikin parno,” ungkap Ery sambil tertawa.
Lima belas menit kemudian, tibalah Ery bersama keluarga di Kampung Berua. Ada loket sebelum masuk dalam kawasan, bayarnya murah hanya Rp 3.000/orang. Kawasan Kampung Berua sangat luas. Jejeran karst terbentang cantik sejauh mata memandang. Di tengah-tengah ada tambak dan juga sawah.
Di Kampung Berua ini ada Situs Pasaung, Padang Ammarrung dan Goa Kelelawar. Sayangnya tidak satu pun yang mereka masuki, karena mesti berjalan agak jauh, dan sepertinya akan membuat anaknya lelah kalau berjalan cukup jauh.
Untuk melepas lelah, Ery mampir di salah satu kafe di Kampung Berua. Kafenya lumayan besar, menyediakan buah kelapa yang segar. Saat mereka datang, ada serombongan fotografer yang sepertinya sedang photoshoot di daerah ini.
***Nur Rachmat