Saatnya Membidik Peluang dari Pasar Obligasi

128
POTO : INT

 

Peningkatan risiko di pasar keuangan akibat Covid 19 menimbulkan kenaikan volatilitas pasar. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terkoreksi dari kisaran 6.300 pada pertengahan Januari hingga menyentuh di bawah level 4.000 pada akhir Maret, sebelum akhirnya rebound ke kisaran 4.500. Para investor asing menjual kepemilikan sahamnya dan memilih aset dengan risiko lebih rendah, yakni safe haven, atau dana cash. Data Bank Indonesia menunjukkan, telah terjadi capital outflow dari pasar saham Indonesia senilai Rp 13,3 triliun selama periode 20 Januari hingga 1 April 2020.

Namun, capital outflow yang lebih menonjol justru terjadi di pasar surat utang. Nilai arus modal keluar mencapai Rp 157,4 triliun untuk periode 20 Januari – 1 April 2020. Dalam rapat kerja dengan DPR, pada 6 April 2020, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan, banyak investor asing yang melepas aset investasi seperti saham, obligasi, dan SBN (Surat Berharga Negara).

Nilai capital outflow terbesar terjadi pada pekan kedua Maret 2020 dan mencapai puncaknya pada pekan ketiga Maret 2020 setelah pandemi Covid-19 menyebar secara cepat di Amerika Serikat dan Eropa dan memicu kepanikan pasar. Padahal, sebelum tanggal 20 Januari 2020, menurut Bank Indonesia, arus modal asing masuk ke pasar modal domestik sebesar Rp22,9 triliun. Dana tersebut dibelanjakan sejumlah instrumen investasi, seperti SBN, obligasi korporasi, juga saham.  Demikian pernyataan BI yang disiarkan secara daring.

Seiring keluarnya dana pemodal global, berkembang anggapan bahwa sebagian dana yang keluar dari instrumen surat utang beralih ke pasar saham. Perkiraan ini mengacu pada pergerakan IHSG yang sempat rebound ke kisaran 4.811 pada pekan pertama April 2020.

Turunnya minat investasi ke pasar obligasi tidak terlepas dari dua isu besar yang mengguncang pasar keuangan dunia, yaitu cepatnya penularan virus Covid-19 dan jatuhnya harga minyak mentah. Para investor memilih memegang aset dengan risiko yang lebih rendah ketimbang mempertahankan mayoritas investasi portofolionya.

Baca Juga :   Pekan Raya Sulsel Dimulai, Pengamat: Ajang dan Momentum Mendorong Peningkatan Ekonomi

Minimnya dana masuk pada pasar surat utang berimbas pada lelang obligasi negara yang dilakukan Pemerintah baru-baru ini. Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mengatakan, antara 18 Februari hingga akhir Maret 2020, tingkat imbal hasil atau yield obligasi negara dengan tenor 10 tahun melonjak sebesar 130 bps.

Tekanan jual itu memicu kenaikan yield atau imbal hasil yang pada akhirnya menekan harga obligasi. Harga obligasi di pasar, baik SUN maupun korporasi, mengalami tekanan akibat turunnya minat investor yang dipicu kenaikan risiko investasi. Turunnya minat investor terlihat pada turunnya penawaran investor (incoming bid) yang signifikan saat lelang SBN belum lama ini.

Seri surat utang pelat merah yang menjadi acuan (benchmark), yakni Seri FR0082 bertenor 10 tahun. Menurut data Refinitiv, seri ini mengalami koreksi harga yang cukup dalam, terlihat dari kenaikan yield sebesar 30,7 basis poin (bps) menjadi 8,276 persen per 6 April 2020, dibandingkan posisi pada akhir Maret.

Seperti halnya di pasar saham, peluang keuntungan terbuka ketika harga saham dengan fundamental yang kuat terkoreksi semata karena sentimen. Saat harga obligasi tertekan semata karena kepanikan pandemi Covid 19, idealnya terbuka pula peluang bagi investor untuk membeli surat utang Pemerintah atau obligasi emiten-emiten dengan track record bagus, untuk kemudian menunggu momentum saat pasar finansial kembali stabil.

Tidak boleh diabaikan bahwa saat ini merupakan era inflasi rendah. Di tengah kepanikan pasar keuangan karena pandemi Covid 19 dan melemahnya daya beli masyarakat secara umum, Bank Indonesia sudah menurunkan suku bunga acuan berdasarkan perkiraan inflasi yang stabil. Pada 20 Maret 2020, BI menurunkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI-7DRRR) sebesar 25 bps menjadi 4,5 persen dari sebelumnya 4,75 persen. Sementara, suku bunga Deposit Facility turun sebesar 25 bps menjadi 3,75 persen, dan suku bunga Lending Facility turun juga sebesar 25 bps menjadi 5,25 persen.

Baca Juga :   Tetap Bugar Selama di Rumah Saja

Pada kondisi normal, pemangkasan suku bunga acuan lazimnya membuat pasar obligasi lebih bergairah. Namun, situasi ekonomi dunia yang sedang tidak normal menyebabkan minat terhadap aset di negara berkembang cenderung turun. Sehingga, pasar obligasi belum memberikan apresiasi atas penurunan suku bunga acuan tersebut. Tidak berlebihan jika ketika harga obligasi tertekan, ada anjuran untuk mencermati dan mendapatkan harga obligasi yang paling rendah dan kemudian bersabar menunggu pasar kembali bergairah untuk mendapatkan keuntungan dari investasi obligasi tersebut.

Tim BEI