Oleh : BRIDanareksa
Ada 4 Faktor Risiko Utama Saat Ini
Menurut pandangan kami, risiko utama saat ini berasal dari jalur finansial. Ada beberapa faktor penting yang perlu terus dipantau karena berpengaruh langsung terhadap alokasi aset dan preferensi investor di tengah gejolak pasar saat ini:
- Kekhawatiran Resesi di AS semakin meningkat, terlihat dari turunnya yield US Treasury (UST) tenor 10 tahun dan melemahnya pasar saham. Yield UST tenor pendek 2 tahun juga turun, mencerminkan ekspektasi pasar bahwa The Fed akan memangkas suku bunga hingga lima kali tahun ini. Namun, risiko terbesar justru muncul apabila The Fed tetap mempertahankan sikap hawkish, yang dapat memicu volatilitas lebih tinggi dan potensi kembali terjadinya inverted yield curve.
- Pelemahan Yuan China (CNY) turut menambah ketidakpastian pasar. China mengambil langkah balasan langsung sehingga Yuan melemah signifikan. Nilai tukar offshore Rupiah (IDR) sempat menembus level 17.000/USD saat libur panjang, seiring Yuan yang juga melemah ke level 7,3 per USD. Merespons kondisi ini, Bank Indonesia (BI) melakukan intervensi aktif di pasar dan menyatakan kesiapan untuk terus menjaga stabilitas saat pasar domestik kembali dibuka.
- Strategi Penempatan Aset kemungkinan besar akan lebih condong ke instrumen yang dianggap lebih aman (safe haven). Yield curve obligasi pemerintah Indonesia (INDOGB) menunjukkan pola yang mirip dengan kondisi saat resesi AS sebelumnya. Dalam situasi ini, obligasi pemerintah tenor pendek dinilai lebih stabil karena cenderung mengalami kenaikan yield yang lebih moderat saat terjadi arus keluar dana asing. Penurunan yield UST belakangan ini juga memperlebar spread INDOGB menjadi 280 bps (vs 220 bps pada 25 Februari), sehingga semakin menarik bagi investor. Untuk meredakan tekanan eksternal, memperkuat sentimen pasar domestik menjadi kunci penting bagi Indonesia.
- Penurunan Harga Minyak Dunia ke level setara saat harga Pertalite di Indonesia masih di Rp7.650 per liter menjadi sentimen positif bagi ruang fiskal Indonesia . Penurunan harga BBM bisa meringankan beban rumah tangga dan mendorong konsumsi. Di sisi lain, apabila harga BBM tetap dipertahankan, akan membantu pemerintah mengurangi beban subsidi fiskal. Kedua opsi ini sama-sama mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia secara keseluruhan. *