
BISNISSULAWESI.COM, MAKASSAR – Volume transaksi perdagangan karbon hingga 22 Agustus 2025, mengalami pertumbuhan cukup tinggi mencapai 483 persen, jika dibandingkan dengan periode sama 2024. Di mana, volume transaksi perdagangan karbon mencapai 696.763 tCO2e atau senilai Rp27,74 miliar, dibandingkan periode yang sama 2024 sebesar 119.463 tCO2e atau senilai Rp6,14 miliar.
Hal itu dijelaskan Kepala Divisi Pengembangan Bisnis 2 Bursa Efek Indonesia (BEI) Ignatius Denny Wicaksono secara online di Jakarta, Senin (25/08/2025)
Bukan hanya volume, kata Ignatius Denny, pertumbuhan tinggi juga terjadi pada frekuensi perdagangan yang peningkatannya sebesar 158 persen, menjadi 129 kali dari 50 kali pada periode sama 2024.
Dikatakan, dari update perkembangan IDXCarbon, tercatat ada penambahan lima proyek, sehingga jumlah proyek meningkat dari 3 menjadi 8 proyek. Penambahan jumlah proyek, meningkatkan jumlah Sertifikat Pengurangan Emisi (SPE) yang diperdagangkan sebesar 73 persen, dibandingkan 2024.
“Hingga 22 Agustus 2025, terdapat 20 Pengguna Jasa Bursa Karbon baru, sehingga total Pengguna Jasa Bursa Karbon menjadi 119,” sebut Ignatius Denny.
Ia menambahkan, penggunaan karbon kredit sebagai offset emisi (retirement) juga terjadi peningkatan sebanyak 34 persen, atau sebesar 554.076 tCO2e, dibandingkan 2024 sebesar 413.287 tCOe2.
Pada 20 Januari 2025, dilakukan peluncuran Perdagangan Karbon Internasional. Di mana, IDX mendapat penghargaan Carbon Positive Awards 2025 sebagai Best Official Carbon Exchange in Emerging Economy.
Untuk inisiatif pengembangan, saat ini BEI dalam proses perubahan peraturan untuk dapat meningkatkan kemudahan dalam onboarding Pengguna Jasa asing. Juga melakukan pengembangan sistem untuk mengakomodir pengembangan SRN Robust milik Kementerian Lingkungan Hidup.
Pada kondisi makro – global, Ignatius Denny menyebutkan secara umum belum terdapat perubahan substantial dalam penggunaan kredit karbon di skala global. Terlihat dari rendahnya perdagangan karbon di bursa karbon lain seperti Malaysia dan Jepang, yang relatif masih lebih rendah transaksinya jika dibandingkan dengan perdagangan karbon di IDXCarbon.
Transaksi perdagangan karbon di Bursa Carbon Malaysia pada YTD-2025 sebanyak 21.586 tCO2e (atau sebesar 3,1 persen dibandingkan IDXCarbon), sedangkan di Jepang sebesar 239.674 tCO2e (atau 34,4 persen dibandingkan IDXCarbon).
Sementara pada kondisi makro – Indonesia, belum ada indikasi rencana pemerintah untuk menerapkan pajak karbon. “Perdagangan Emisi, hingga Semester I-2025 perdagangan karbon di subsektor pembangkit tenaga listrik untuk 2025 belum dimulai. Perdagangan emisi sub sektor lain masih proses pembuatan/revisi peta jalan,” katanya.
Pemerintah Indonesia telah memiliki Mutual Recognition Agreement (MRA) dengan skema JCM (Joint Crediting Mechanism) milik pemerintah Jepang sejak 28 Oktober 2024, namun sampai saat ini belum terdapat JCM credits yang diterbitkan SRN-PPI.
“Indonesia masih dalam proses diskusi dengan Singapura untuk perjanjian kerja sama, sehingga belum ada pengaturan lanjutan untuk memastikan karbon kredit Indonesia dapat digunakan dalam skema pajak karbon Singapura,’ tambahnya.
Untuk perdagangan karbon pada registri internasional, pemerintah Indonesia telah menandatangani MRA dengan Gold Standard Registry. MRA ini masih perlu ditindaklanjuti dengan pengaturan turunan khususnya mengenai prosedur registrasi proyek-proyek Indonesia di Gold Standard.
Bali Putra